Perjanjian Salatiga, Babak Akhir Keruntuhan Mataram Islam

 



Kraton Ngayogyakarta 

Ilustrasi 

Perjanjian Salatiga, Babak Akhir Keruntuhan Mataram Islam

Ringkasan: Artikel ini membahas tentang Perjanjian Salatiga dan bagaimana perjanjian tersebut menjadi babak akhir keruntuhan Mataram Islam pada abad ke-18. Perjanjian ini merupakan perjanjian yang diakhirkan pada tahun 1757 antara VOC dan kesultanan Mataram. Penjelasan akan membahas bagaimana perjanjian tersebut memperlihatkan kegagalan Mataram dalam mempertahankan kekuasaannya dan mengapa perjanjian ini sangat penting bagi sejarah Indonesia.

Pengantar: Keruntuhan Mataram Islam saat abad ke-18 adalah salah satu kejadian penting dalam sejarah Indonesia. Mataram Islam merupakan sebuah kesultanan besar yang menyelimuti sebagian besar wilayah di Jawa dan telah mengalami masa kejayaan selama berabad-abad sebelum akhirnya runtuh pada abad ke-18. Artikel ini akan membahas bagaimana Perjanjian Salatiga menjadi tanda terakhir kedaulatan Mataram yang melemah dan pada akhirnya mengakhiri kesultanan terakhir di Jawa.

Bagian Utama: Perjanjian Salatiga ditandatangani pada 17 Maret 1757 dan menjadi titik akhir dari konflik antara kesultanan Mataram dan VOC Belanda. Sultan Hamengkubuwono II dari Kesultanan Yogyakarta dan Paku Buwana III dari Kesultanan Surakarta setuju untuk mengakui VOC sebagai kekuatan yang lebih kuat di Jawa.

Isi perjanjian Salatiga memberikan keuntungan besar bagi VOC Belanda seperti; memberi kekuasaan dan wewenang kepada VOC atau perusahaan dagang Belanda dalam menyusun dan memungut pajak di wilayah kerajaan Mataram. Peraturan ekspor-impor juga diatur oleh VOC, dan kebijakan perdagangan juga dilaksanakan secara ketat oleh VOC. Perjanjian Salatiga memperlihatkan kemunduran Mataram dan kesulitan yang dihadapinya untuk mempertahankan kekuasaannya.

Perjanjian Salatiga menjadi awal bagi dominasi Belanda di wilayah Jawa dan menjadi akhir era Mataram yang kuat. Perjanjian Salatiga membuka pintu bagi pengaruh Belanda dalam mengatur pemerintahan dan ekonomi Mataram. Sultan Hamengkubuwono II dan Paku Buwana III menjadi seorang boneka Belanda dan dalam banyak hal kehilangan kedaulatannya.

Kesimpulan: Kesultanan Mataram Islam tetap menjadi sebuah kekuatan besar di Jawa selama berabad-abad, namun abad ke-18 periodenya dibawah tekanan dari luar dan kekacauan internal yang menghancurkan kesultanan itu. Perjanjian Salatiga bertindak sebagai tanda tangan terakhir kekuasaan Mataram terhadap keinginannya sendiri. Kekuasaan Mataram secara bertahap dikalahkan oleh tekanan eksternal dari Belanda. Artikel ini menjelaskan sejarah khusus dari kesultanan Mataram dan bagaimana Perjanjian Salatiga menjadi tanda tangan terakhir kekuasaannya yang menandai akhir keruntuhan Mataram Islam.


A. Beberapa dampak konkret dari dominasi Belanda setelah Perjanjian Salatiga adalah:

1. Ekonomi Jawa dikendalikan oleh Belanda: Setelah Perjanjian Salatiga, Belanda semakin menguasai ekonomi Jawa. Perusahaan-perusahaan dagang Belanda, seperti VOC, mengambil alih perdagangan di Jawa dan memonopoli ekspor komoditas utama seperti kopi, rempah-rempah, dan gula yang menjadikan Jawa sebagai negara penghasil komoditas penting bagi Belanda.

2. Pajak ditinggikan: Setelah Perjanjian Salatiga, Belanda juga mengendalikan pajak di Jawa dengan menaikkan pajak-pajak Jawa dan melakukan penindasan yang keras pada rakyat Jawa yang tidak mampu membayar pajak-pajak tersebut dan hal ini menyebabkan banyak rakyat Jawa jatuh ke dalam kemiskinan dan akhirnya menyebabkan ketidakpuasan terhadap Belanda.

3. Pendidikan dibatasi: Setelah Perjanjian Salatiga, Belanda membatasi akses pendidikan bagi rakyat Jawa. Belanda membatasi pendidikan hanya untuk golongan tertentu, seperti orang-orang Belanda atau golongan elite lokal. Hal ini hanya memperburuk ketidakadilan dan kesenjangan sosial di Jawa.

4. Budaya Jawa dikendalikan oleh Belanda: Setelah Perjanjian Salatiga, Belanda juga mengendalikan budaya Jawa. Para ilmuwan Belanda mulai mengkaji dan menafsirkan budaya Jawa dengan cara yang mereka pahami dan seringkali dengan kecenderungan merendahkan budaya itu sendiri. Pemerintahan Belanda menganggap bahwa budaya masyarakat Jawa adalah usang dan perlu diubah demi kemajuan sosial.

5. Kemiskinan dan penindasan memunculkan perlawanan terhadap Belanda: Setelah Perjanjian Salatiga, rakyat Jawa mengalami penindasan yang tinggi, eksploitasi, dan kemiskinan yang memunculkan protestasi dan perlawanan terhadap Belanda yang terkenal dengan "Perang Jawa". Belanda merespon dengan kebrutalan, membantai rakyat Jawa dan membuat kondisi semakin tidak stabil.

6. Kesimpulan: Dominasi Belanda di Jawa setelah Perjanjian Salatiga memiliki dampak konkret yang signifikan bagi masyarakat Jawa dan Indonesia secara keseluruhan. Hal ini memunculkan ketidakadilan, kemiskinan, dan perlawanan yang terus berlanjut hingga hari ini. Dominasi Belanda juga meninggalkan jejak dalam pembentukan identitas nasional Indonesia dan mengubah arah sejarah Indonesia secara keseluruhan.

B. Periode setelah Perjanjian Salatiga. Beberapa di antaranya adalah:

1. Pemberontakan Pangeran Diponegoro: Pangeran Diponegoro, keturunan kesultanan Yogyakarta memimpin pemberontakan melawan Belanda pada periode 1825-1830 yang secara resmi dikenal sebagai "Perang Diponegoro". Pemberontakan ini dipicu oleh perbedaan pandangan antara Pangeran Diponegoro dan Belanda terkait penguasaan tanah dan pembebasan para tawanan perang dan menyebabkan korban jiwa yang sangat banyak bagi rakyat Jawa.

2. Pemberontakan Banten: Pemberontakan Banten terjadi pada periode 1888-1889 yang dipimpin oleh para ulama di Banten sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Para ulama meyakini bahwa pemerintahan Belanda masuk dalam tindakan yang tidak Islami. Pemberontakan ini tidak berhasil memenangkan perang, namun memunculkan semangat perlawanan pada masyarakat Jawa dan kelompok lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan negara dari penjajah.

3. Gerakan Tionghoa: Gerakan anti-Belanda juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia yang mendapatkan perlakukan diskriminatif di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Gerakan ini memunculkan tokoh-tokoh penting Tionghoa, seperti Tjoa Sin Hok dan Oei Tiong Ham yang memimpin gerakan-gerakan sosial dan politik untuk membela hak-hak masyarakat Tionghoa dan menentang pemerintah kolonial.

4. Gerakan Kebangkitan Nasional: Gerakan kebangkitan nasional (Indonesische Nationalisten Bond) yang didirikan pada 1908, merupakan suatu gerakan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda di mana gerakan ini memperjuangkan kesetaraan hak dan politik. Gerakan ini memunculkan beberapa tokoh penting seperti Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat yang kemudian dikenal sebagai Bung Karno.

Intinya, perlawanan-perlawanan terhadap dominasi Belanda setelah Perjanjian Salatiga terbilang cukup banyak dan terus berlanjut dalam sejarah Indonesia hingga kemerdekaannya pada periode pasca-Perang Dunia II. Perlawanan-perlawanan tersebut memunculkan kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan dan memperkuat identitas nasional Indonesia serta menjadi fondasi bangsa ini untuk membangun sebuah negara merdeka.

Penulis: Kang Lisandipo
Sumber: Wikipedia  Sejarah Salatiga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TAWASUL

Cara HADIAH FATIHAH

LIRIK LAGU PURGATORY